CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 10 Juli 2013

I See

Friday~ 

“Bisakah... kau percaya padaku?” 

“Aku selalu percaya padamu."

“Jika begitu, kau bisa menceritakan apa yang kau rasakan padaku.” laki-laki bersurai gelap itu berkata lirih. Menatap sendu gadis di sampingnya. 

“Aku... tidak tahu. Itu bukan pilihan mudah.” gadis itu menunduk, menatap meja coklat tua di depannya yang dipenuhi tulisan-tulisan yang disengaja. 

“Kalau kau, percaya padaku. Ceritakan semuanya, buat aku menjadi seseorang yang menganggapmu penting karena kau percaya padaku. Seperti kau menganggapku.” Gadis itu menoleh, menatap laki-laki yang duduk di sampingnya, menunggu kata-kata yang seakan terpotong. Laki-laki itu menatap balik bola mata gelap yang setia menunggu, memberikan jawaban bahwa ia telah selesai mengucapkan kata-kata. 

Gadis itu menggulirkan bola matanya,

mengalihkan pandangan kembali pada jajaran huruf kecil samar berisi rumus matematika di atas meja coklat tua di depannya. Ia tak pernah memikirkan bahwa laki-laki itu juga menganggapnya penting. Tapi ia tak dapat memastikan kata-kata itu tulus atau sekedar untuk, balas budi untuk sikapnya terhadap laki-laki itu belakangan ini, yang sebenarnya bukan sifat khusus yang ia tujukan hanya pada laki-laki itu. 

“Kalau kau tidak bisa, aku akan membuatmu mengatakannya.” kata laki-laki itu samar, tapi berhasil menarik perhatian gadis di sampingnya. 

“Kupikir begitu lebih baik.” gadis itu menjawab dengan ragu. 

“Tapi aku tidak tahu saat-saat itu.” gadis itu menoleh mendengar kata-kata yang menggantung dari teman sebelahnya. “Aku tidak tahu kapan... bagaimana perubahan sikapmu... tidak-tidak, aku akan tahu. Aku kan tahu segalanya.” laki-laki itu tertawa menimpali kata-katanya yang tumpang tindih. Sedikit humor di saat-saat serius mungkin bagus untuk mencairkan suasana. 

“Ya, cukup untuk membuatmu belajar sedikit peka.” kata gadis di sampingnya membuat laki-laki itu mencibir, merasa diragukan kemampuannya. Gadis itu tersenyum menanggapi. 

Monday~

Gadis itu masuk, melihat beberapa teman bergurau dan tertawa di sana. Semua menoleh ke arahnya, dan secara spontan memberi semangat padanya karena melihat wajahnya yang tak bisa dikatakan menggambarkannya dalam keadaan baik. Gadis itu menimpali dengan senyum, berterima kasih. 

Satu yang ia tunggu, janji yang dulu pernah diucapkan oleh temannya, janji untuk yah.. bisa dibilang janji untuk ada ketika ia membutuhkan. Bukan berarti ia ingin rasa kasian dari laki-laki itu. ia hanya ingin melihat bagaimana laki-laki itu menepati janjinya. Tapi tidak. 

Gadis itu tak pernah mendengar laki-laki itu memanggil namanya, tak pernah mendengar kata-kata semangat darinya. Ia menanti, menatap dari ekor matanya sambil mengemasi barang-barang yang berserakan di atas meja. Tapi tidak. 

Gadis itu hampir terlepas ketika memikirkan betapa kepercayaan tumbang begitu saja. Tangis baru saja menguasai ekspresinya, tapi tak berhasil merebut dirinya. Sekilas ekspresinya beriak menampilkan sebaris kekecewaan yang hampir tumpah. 

“Aku duluan.” Gadis itu berpamitan pada teman-temannya, tak satupun mata ia pandang. Hanya berkata, tersenyum, dan segera pergi. 

Ekor matanya yang tadi menanti tetap tak dapat menangkap riak wajah ragu pada seseorang. Seseorang yang dulu pernah berjanji. Laki-laki yang dinanti oleh ekor mata sang gadis. Tatapan matanya tak pernah lepas dari sang gadis yang selalu menunduk. Bahkan ia melihat riak ekspresi air mata di wajah gadis itu tadi. Tak ada yang ia katakan, ia menatap gadis itu hingga kepergiannya keluar kelas, seakan ia ingin berbicara lewat tatapan matanya yang tak pernah mendapat balasan. 

Night~ 

Gadis itu diam, setia menatap atap putih di depannya, seakan atap itu juga menatapnya dan berbicara padanya. Diam-diam, gadis itu berbicara lewat matanya, menyampaikan isi hatinya kepada si atap putih. Menyampaikan secuil harapannya agar mendengar bunyi getar dari ponselnya. Dan ketika membuka pesan yang masuk itu, ia berharap menemukan nama laki-laki itu dengan pesan yang menanyakan keadaannya, sesuai yang dulu dijanjikan. Mencari tahu sendiri apa yang dirasakannya tanpa diminta. Melenyapkan semua kekecewaannya terhadap sikap laki-laki itu tadi siang. Mengembalikan kepercayaannya yang sepotong telah menghilang meninggalkan potongan lain, yang lebih kecil. Tapi tidak. Tak ada bunyi getar ponsel. Tak ada nama laki-laki itu dan pesan darinya di layar ponsel. Tak ada yang menanyakan sesuatu yang terjadi tadi. Tak ada yang menyatukan potongan kepercayaannya kembali utuh. Sampai bola mata itu menghilang dibalik tirai horizontal. Sampai atap putih itu mengucapkan selamat tidur pada sang gadis. Sampai ketika mimpi menyambut sang gadis. Tak pernah ada. Dan tanpa disengaja, itu merupakan awal dari lunturnya sepotong kecil kepercayaan. Awal dari setitik kehilangan yang akan menjadi kubangan rindu karena perpisahan.

0 komentar:

Posting Komentar